Menyuburkan Semangat Pengabdian

[ Selasa, 27 Juli 2010 ]
Menyuburkan Semangat Pengabdian
MEMBERIKAN pengabdian untuk bangsa bisa dilakukan siapa saja. Yang penting, punya niat atau kemauan, kesediaan untuk berkorban, serta keuletan dan kesabaran dalam melaksanakannya. Soal keterbatasan, baik keterbatasan skill maupun finansial, bisa terpecahkan bila niat memang ada.

Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, melalui program Indonesia Mengajar, memfasilitasi pengiriman anak-anak muda cerdas untuk menjadi guru selama setahun di daerah-daerah pedalaman dan terpencil. Melalui tulisannya di Jawa Pos kemarin (26/7) Anies mengungkapkan bahwa program tersebut dimaksudkan untuk memecahkan problem kualitas pendidikan yang tidak merata karena persoalan distribusi tenaga pengajar (guru).

Setali tiga uang dengan Anies, di Depok, Jawa Barat, ada Nurrochim. Kendati ''takdir'' dirinya tidak sebagus Anies -yang rektor dan tentu memiliki akses pendanaan lebih bagus-, Nurrochim memiliki pengabdian yang tidak kalah terpuji. Dia mendirikan sekolah gratis untuk anak jalanan. Lakon ini telah dijalani delapan tahun (Jawa Pos, 26/7).

Untuk membiayai sekolah gratisnya yang konon mencapai Rp 70 juta per bulan, Nurrochim tidak memiliki penghasilan tetap. Dia mengandalkan bantuan donatur dan kreativitasnya dalam mengelola koperasi yayasan, yakni mengembangkan usaha sablon. Sedangkan bantuan pemerintah, dikabarkan belum pernah ada sama sekali.

Dua cerita anak manusia yang kebetulan dimuat secara bersamaan di halaman muka Jawa Pos ini memberikan penegasan bahwa pengabdian bisa dilakukan oleh siapa saja. Yang penting ada niat. Jika niat tidak ada, jangankan pengabdian, kewajiban saja sering diabaikan.

Sikap anggota DPR yang suka membolos adalah sikap abai yang bisa dijadikan contoh aktual. Mereka yang per bulan menerima gaji Rp 50 juta lebih itu dengan enaknya mengabaikan kewajiban yang seharusnya mereka penuhi. Padahal, Rp 50 juta per bulan tersebut diberikan sebagai imbalan atau konsekuensi dari sejumlah kewajiban yang berada di pundak mereka.

Bahwa sekali dua kali seorang anggota dewan tidak bisa memenuhi daftar kehadiran mungkin bisa dimaklumi. Namun, kalau ketidakhadiran mereka itu sampai berkali-kali dan menyebabkan sejumlah tugas mereka terbengkalai, jelas merupakan tindakan tidak terpuji dan layak mendapatkan sanksi.

Menurut catatan wartawan koran ini yang ngepos di Senayan, tak pernah ada rapat paripurna yang kehadiran pesertanya mencapai 300 anggota dewan. Ini berarti tingkat kehadiran dewan rata-rata hanya separo dari seluruh anggota dewan yang jumlahnya 560 orang.

Tercatat pula bahwa kemalasan mereka hadir tidak hanya di sidang paripurna. Juga di sidang-sidang komisi dan pembahasan RUU. Akibatnya, belum ada satu pun UU mereka hasilkan. Padahal, pada tahun pertama ini, seharusnya mereka membahas 70 RUU (Jawa Pos, 25/7).

Mekanisme untuk membuat seorang anggota dewan rajin ''ngantor'' semestinya banyak. Dari diberlakukannya presensi, pengawasan dari Badan Kehormatan (BK), dan aturan main di internal fraksi maupun partai pengusung. Namun, karena niat untuk berbuat baik memang tidak ada, mekanisme-mekanisme tersebut mandul. Dewan membolos dan lalai terhadap kewajiban menjadi pemandangan tiap tahun dan tiap periode masa jabatan.

Bangsa ini akan kukuh bila warga yang gemar memberikan pengabdian semakin banyak. Sebaliknya, bangsa ini akan terus mengalami pengapuran (baca: pengeroposan) bila yang mengalami pertumbuhan adalah mereka yang suka mengabaikan kewajiban.

Kini, adalah kewajiban kita -orang yang masih punya kepedulian pada masa depan bangsa- untuk terus menumbuhsuburkan lahirnya orang-orang yang punya kepedulian dan pengabdian. Juga terus memperkecil orang yang suka mengabaikan kewajiban dan hanya mementingkan diri sendiri. Jawa Pos 27 JULI 2010(*)

Categories:

Leave a Reply